Rabu, 23 April 2008

Tokoh Muda

Berhubung belum sempat nulis, berikut adalah copy paste dari Headline Koran Tempo Minggu, 20 April 2008 mengenai "Tokoh Muda", oleh PUTU SETIA.

Dalam bahasa anak muda, "Kalian sudah uzur, istirahat sajalah, jangan ngurus macam-macam."
Sebuah karikatur di "tabloid istana" menyindir Wiranto dan Megawati sebagai kakek dan nenek. Imajinasi yang mau digiring adalah bahwa mereka itu sudah tua. Dalam bahasa anak muda, "Kalian sudah uzur, istirahat sajalah, jangan ngurus macam-macam."

Pramono Anung, tokoh setia di samping Megawati, memprotes keras. Pengelola tabloid yang menyuarakan kubu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ini cepat-cepat minta maaf. Jadi, tidak sampai menjadi bola salju yang bisa ditendang ke mana-mana.

Zaman sudah berubah. Di masa lalu, partai besar punya koran. Andaikata di era ini semua partai besar punya koran (yang pasti tidak akan laku secara bisnis), Pramono tak perlu protes. Kubu Megawati akan membalas karikatur itu dengan menggambarkan Susilo Bambang Yudhoyono juga seorang kakek, bahkan mungkin dengan dramatisasi: kakek yang ragu berjalan sehingga langkahnya tersendat, kakek yang berpoco-poco.

Untunglah, ini tak terjadi dan orang sudah melupakan karikatur kakek dan nenek itu. Yang tak boleh dilupakan, sejatinya semua tokoh itu sudah berstatus kakek dan nenek. Katakanlah, dengan istilah keren, "kakek bangsa" dan "nenek bangsa". Sederet nama bisa ditambahkan di jajaran ini, misalnya Wiranto, Abdurrahman Wahid, Hamzah Haz, dan banyak lagi.

Kalau mereka tidak mau istirahat, rakyat yang mengistirahatkannya dengan segala hormat. Pemilihan kepala daerah di Jawa Barat menjadi contoh paling akhir. Kurang apa lagi pengalaman "kakek" kita yang satu ini, Agum Gumelar. Pernah menjadi menteri dengan gonta-ganti pos, pernah memimpin organisasi sepak bola, olahraga yang paling memasyarakat. Pernah menjadi calon wakil presiden. Semua dicatat rakyat. Lalu, Kakek Agum didukung partai besar, partai banteng gemuk bermoncong putih. Namun, rakyat membutuhkan orang muda yang "darahnya" segar, yang belum banyak dimasuki "virus". Pilihan pada pasangan Ahmad Heryawan-Dede Jusuf.

Siapa Dede? Ah, hanya aktor film, bintang iklan obat sakit kepala. Siapa Agum? Wow, tentara pilihan, ketua alumni Lemhannas, mantan menteri ini-itu. Rano Karno, kini Wakil Bupati Tangerang, juga hanya aktor film. Rakyat memilih Dede dan Rano pertama-tama karena mereka anak muda, dan kedua karena rakyat mengharapkan munculnya tokoh segar di dunia birokrasi.

Rakyat sekarang ini cerdasnya bukan main. Selain itu (maaf sekali, para rakyat), juga licik. Dikatakan cerdas karena tahu, memilih bupati, gubernur, dan presiden tak ada kaitan dengan memilih partai. Partai boleh mengusung siapa saja. Kalau rakyat tak suka figur itu, ya, tak dicoblos. Licik? Tentu. Baju kaus calon gubernur diterima, uang kampanye diambil, bantuan diminta. Pas pencoblosan, semua barang dan uang itu dilupakan. Pada pemilihan Bupati Gianyar, Bali, tempo hari, saya terkesima dengan pilihan rakyat. Siapa menduga di kandang banteng, di tempat ribuan orang mengelu-elukan Megawati saat kampanye, calon dari partai banteng malah kalah. Ya, karena rakyat butuh pemimpin yang segar.

Lalu, kenapa Rano dan Dede? Karena anak muda yang ada di jajaran partai (sebut, misalnya, Pramono Anung, Anas Urbaningrum, Soetrisno Bachir) masih dikeloni kakek dan nenek partai. Tokoh muda partai tak ada yang berani bilang "tidak" pada kakek dan neneknya. Lihat saja, simpati datang pada Muhaimin Iskandar justru saat ia berani melawan. Kalau anak-anak muda di partai tak bisa melepaskan belenggu ini, ya, apa boleh buat, dunia artis masih banyak stok, ada Tantowi Yahya, ada Garin Nugroho, dan sederet lagi yang punya otak dan integritas. ***

Kamis, 17 April 2008

Negeri Zaman Edan

Berikut adalah copy paste dari Opini Media Indonesia, Rabu, 16 April 2008 07:27 WIB, ditulis oleh : Benny Susetyo, Pendiri Setara Institut.

ANTREAN minyak tanah di berbagai daerah menunjukkan pemerintah sudah kehilangan cara untuk tidak membuat rakyatnya menderita. Penderitaan demi penderitaan terus disodorkan kepada rakyat.

Para pejabat tentu tidak pernah merasakan antre minyak tanah, saling berebut dan saling sikut. Pemerintah tidak cepat tanggap. Dengan situasi ini, bagaimana menyatakan program konversi minyak tanah sebagai suatu langkah tanggap dan sebuah keberhasilan?

Kita sudah memasuki zaman yang oleh Ronggowarsito disebut sebagai zaman edan. Betapa tidak, di negeri sesubur dan sekaya Indonesia, masyarakatnya berjejer antre minyak dan beras. Busung lapar dan kelaparan tersebar di berbagai wilayah. Atas semua itu, rasa-rasanya pemerintah nyaris tidak bisa berbuat apa-apa.

Operasi bahan-bahan pokok tidak memperoleh hasil maksimal. Yang miskin tetap saja makan nasi aking. Mereka yang antre beras itu sebagian besar juga para petani kita dan mereka yang antre minyak itu adalah rakyat yang memahami bahwa Indonesia adalah negeri kaya raya.

Bagaimana ini semua bisa terjadi? Jawaban klasik yang selalu mengandung kebenaran adalah karena kelalaian pemerintah dalam menegakkan ketahanan bahan dasar pokok. Ketika segala sesuatu diselesaikan atas nama tekanan ekonomi internasional dan subsidi atas bahan-bahan pokok juga dilakukan 'atas nama rakyat', pada akhirnya bisa disaksikan semua kegagalan itu menjadikan rakyat sebagai korban.

Pencabutan subsidi BBM dilakukan, impor beras, konversi minyak tanah, dan lainnya dilakukan demi kesejahteraan rakyat. Logika ini begitu pelik dan susah dipahami rakyat. Faktanya adalah kesulitan demi kesulitan. Betapapun mulia niat pemerintah bila diterapkan dalam situasi yang membuat menderita, kemuliaan itu tak pernah diapresiasi rakyat sebagai langkah sungguh-sungguh kecuali lagi-lagi menjadikan rakyat miskin sebagai korban.

Daulat kita ditekuk. Kita bahkan hampir tidak lagi memiliki kedaulatan untuk menentukan masa depan. Itu merupakan dampak fatal ketika roda ekonomi dikendalikan oleh mereka yang berdiri di balik liberalisme. Demi itu semua, semua produk kebijakan dibuat untuk melindungi kepentingannya.

Ujung-ujungnya adalah mencabut subsidi rakyat miskin. Privatisasi dan swastanisasi sudah merasuki semua sektor kehidupan. Inilah yang membuat bencana bagi rakyat miskin. Air, tanah, dan udara bukan milik semua, melainkan milik orang kaya.

Di sisi lain, ketidakmampuan pemerintah menghapuskan biaya tinggi (hight cost) di berbagai sektor itulah yang membuat kita sulit keluar dari krisis, termasuk kebijakan kenaikan harga BBM pun tidak akan mengubah nasib kaum miskin semakin baik. Kaum miskin hidupnya semakin tersisih dalam daya tawarnya terhadap kekuatan global yang sekarang ini telah merasuki kekuatan politik dan pasar. Kekuatan global ini sekarang telah menguasai hajat hidup kehidupan ekonomi kita.

Derita kemiskinan
Derita kemiskinan akibat kekeliruan kebijakan-kebijakan struktural seperti inilah yang begitu sering terjadi. Bukannya mempersoalkan bagaimana memberikan langkah yang akurat untuk mengatasi kemiskinan secara tepat, terukur, dan membawa hasil yang jelas, melainkan rakyat miskin sendiri sering 'disiksa'.

Sudah semenjak dulu, kemiskinan hanya dijadikan alat atau isu belaka.
Tidak pernah dicarikan jalan keluar secara serius untuk mengatasi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan menjadi isu yang terbaik untuk mencari dukungan rakyat miskin. Sungguh ironis karena tanpa elite menyadarinya, mereka terlalu sering memanfaatkan rakyat miskin untuk kepentingan diri sendiri.

Sumber dari segala sumber bencana negeri ini sangat mungkin terjadi karena selama ini kebijakan tidak diarahkan atau berpihak pada penguatan masyarakat kecil. Kebijakan ekonomi terlalu mendongak ke atas dan tak jarang menjadikan rakyat kecil sebagai 'batu injakan' saja. Alih-alih memperkuat ekonomi rakyat dan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh nasib rakyat dari derita kemiskinan dan pengangguran, justru yang terjadi kesejahteraan rakyat kecil diabaikan.

Ketidakmampuan elite untuk menjaga ketersediaan bahan pokok memberikan perlindungan dan kesejahteraan dasar kepada rakyat sering ditutup-tutupi dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal. Fakta bahwa rakyat kekurangan bahan dasar berkehidupan tidak pernah diselami sebagai permasalahan akut bahkan darurat. Dalam hal ini, jelas penguasa tidak pernah mau menyadari kesalahan dirinya sendiri.

Berbagai problem kebutuhan sehari-hari datang silih berganti. Belum selesai satu masalah, muncul masalah lainnya. Kelangkaan minyak tanah, kedelai, minyak goreng, sampai gabah dan beras bukanlah masalah kelangkaan biasa. Di dalamnya sarat makna tentang kegagalan negara mengatur lalu lintas penyediaan kebutuhan dasar rakyat. Di negeri yang subur ini, rakyatnya kekurangan beras dan bahkan ada yang makan nasi aking. Sampai kapan rakyat harus antre bahan-bahan pokok?

Jumat, 11 April 2008

Inspirator (2)

“Bodoh sekali jika kita takut menghadapi apa yang tidak bisa kita hindari”
(Peribahasa Latin)

Kamis, 10 April 2008

Suap (lagi)

Indonesia nampaknya memang masih menjadi negara yang subur dengan praktek suap.
Buktinya, kasus-kasus suap semakin banyak yang terungkap.
Yang terakhir adalah kemarin,
Rabu (9/4) pukul 02.00 di Hotel Ritz Carlton, kawasan Mega Kuningan, Jakarta.
AANN, anggota Komisi IV DPR, digerebek aparat KPK saat menerima suap dari AZ, sekretaris daerah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Katanya, suap itu untuk mempermulus pengalihan fungsi hutan lindung menjadi kawasan industri dan ibu kota Bintan.
Sebagaimana diketahui, pengalihan hutan lindung di Desa Bintan Buyu menjadi ibu kota kabupaten itu kian berlarut-larut karena izin Menteri Kehutanan baru akan turun bila ada persetujuan dari DPR.
Karenanya, AZ yang menjabat ketua Tim Percepatan Pembangunan Ibu Kota Bintan lantas melobi AANN, seorang anggota DPR
untuk memuluskan alih fungsi hutan lindung.
Menurut Jawa Pos, kawasan hutan lindung yang bakal dikonversi itu seluas 8.000 hektare. Sebagian besar lahan, 7.300 hektare, diperuntukkan sebagai central bussines development alias pusat bisnis dan perumahan. Sekitar 200 hektare lainnya untuk kantor pemerintahan. Kabarnya, di belakang perubahan alih status hutan ada kepentingan salah satu konglomerat.
Astaga dot com.
Indonesia..., duh Indonesia.
Kebiasaan suap, sogok menyogok masih saja dipelihara.
Siapapun bisa melakukan suap, siapapun bisa disuap. Parah.

Di sekitar dunia pekerja dan organisasi pekerja, issue suap juga sudah menjadi berita yang biasa didengar.
Terutama pada saat pembahasan upah atau UMK / UMS.
Katanya, perwakilan pekerja bisa diiming-imingi uang, atau disuap
supaya menyetujui kenaikan upah yang tidak terlalu tinggi.
Untuk kepentingan pribadinya, perwakilan pekerja yang duduk di dewan pengupahan ini rela melakukan tindakan memalukan ini.
Mudah-mudahan saja berita miring seperti ini hanyalah kabar burung dan tidak benar.

Pekerjaan rumah bagi kita semua, pekerja adalah memikirkan metode terbaik supaya siapapun pemimpin organisasi pekerja, aktifisnya, dan perwakilan pekerja selalu berjuang demi anggota-anggotanya, dengan mengenyampingkan kepentingan pribadinya.
Kita juga mesti menyadari bahwa
pemimpin organisasi pekerja, aktifisnya, dan perwakilan pekerja adalah juga manusia, sebagaimana seorang rocker.
Maka, pengorbanan mereka meluangkan waktu, tenaga dan mungkin juga biaya untuk perjuangan pekerja perlu dihargai dengan pantas. Dengan demikian mereka akan cukup kuat dari godaan menerima suap.
Jangan sampai suap-menyuap tumbuh berkembang di dalam pergerakan perjuangan pekerja.
Semoga.

(Gambar dari sini)


Selasa, 08 April 2008

Sadarkah kita?

Tanyakan pada diri sendiri, sadarkah kita bahwa:
Kita harus senantiasa melihat ke depan.
Karena itulah, kita memiliki dua mata di depan.
Lihatlah cita-cita ke depan, lihatlah kondisi yang lebih baik di depan.

Tanyakan pada diri sendiri, sadarkah kita bahwa:
Kita harus senantiasa mendengar dari kanan dan kiri.
Karena itulah, kita memiliki dua telinga di kedua sisi.
Dengarlah kritik, dengarlah pujian, dengarkan mana yang benar.

Tanyakan pada diri sendiri, sadarkah kita bahwa:
Kita sudah kaya, kita tidak miskin.
Karena kita memiliki otak yang tersembunyi di kepala sehingga tak seorang pun dapat mencuri isi kotak kita yang lebih berharga dari segepok permata.
Pakailah otak untuk berpikir kreatif, berpikir konstruktif.

Tanyakan pada diri sendiri, sadarkah kita bahwa:
Kita hanya memiliki satu mulut, cukup satu mulut.
Karena mulut berpotensi menjadi senjata tajam yang dapat melukai, memfitnah bahkan membunuh.
Bicaralah seperlunya, perbanyak melihat dan mendengar.

Tanyakan pada diri sendiri, sadarkah kita bahwa:
Kita hanya memiliki satu hati, cukup satu hati.
Karena hati dapat menghargai dan memberikan kasih sayang dari lubuk hati yang terdalam.

Mari,
Belajar untuk mencintai orang lain, tanpa berharap orang lain mencintai anda.
Bekerja untuk kebaikan bersama, tanpa berharap pamrih.
Berjuang untuk kesejahteraan bersama, tanpa berharap imbalan.
Berusaha untuk menjaga ukhuwah, tanpa pernah menyerah.
Berjalan untuk menjadi contoh, tanpa harus berambisi.
Berlari untuk mengejar impian, tanpa membuat lubang.
Berikan cinta tanpa mengharapkan balasan, insya allah hidup ini akan menjadi lebih indah.

(Gambar dari sini)

Minggu, 06 April 2008

Menjadi Anggota Dewan = Menjadi Kaya?

Banyak teman yang beranggapan bahwa menjadi seorang pekerja atau seorang buruh atau seorang karyawan atau seorang pegawai tidak mungkin bisa menjadi kaya.
Dengan gaji yang sebesar UMK adalah hal yang mustahil bila merindukan diri menjadi seorang yang memiliki segala sesuatunya secara materi.
Maka kemudian ada yang menyelutuk, "Kalau pengin kaya, jadilah anggota Dewan!"
Sebagai anggota Dewan, gajinya lebih dari cukup, berlipat-lipat dari UMK, bahkan tidak lagi menjadikan UMK sebagai standar, tambahnya.
Berbagai tunjangan pun didapat.
Belum lagi kunjungan ke sana kemari yang tentu saja bisa menambah tebal kantongnya. Atau studi banding ke kota ini ke kota itu tanpa perlu pertanggungjawaban dan kegiatan tindak lanjut, katanya lagi.

Simpel sekali.
Rupanya ada yang berkeinginan menjadi seorang anggota Dewan agar bisa jadi kaya.
Agar enak tanpa perlu kerja keras.
Agar enak jalan ke sana kemari dengan mudah.

Fakta memang menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil seorang pekerja / buruh / karyawan / pegawai yang terlahir kaya.
Sebagian besar seorang pekerja / buruh / karyawan / pegawai adalah orang-orang yang biasa bekerja keras dari pagi sampai malam, terkadang berjam-jam kerja lembur dengan bayaran pas-pasan.

Tetapi fakta juga menunjukkan bahwa sebagian besar seorang pekerja / buruh / karyawan / pegawai yang menjadi anggota Dewan kemudian berubah menjadi kaya dalam waktu sekejap.
Haruskah menjadi anggota Dewan karena alasan materi agar jadi kaya?

Jumat, 04 April 2008

Inspirator

“ Kita berbicara jujur hanya kepada diri kita sendiri, tetapi
kadang-kadang kita berbicara cukup keras agar orang lain bisa
mendengarnya. ”

(Kahlil Gibran)

Kamis, 03 April 2008

Siapa Yang Paling Bertanggung Jawab?

Harga sembako semakin mahal.
Tarif listrik dan air bakal naik (lagi).
Sementara gaji pekerja tetap segitu.
Dan, jalan-jalan tetap saja berlubang.
Banjir pun terjadi di mana-mana.
Belum lagi pendidikan yang semakin mahal.
Tapi, pemerintah cuma punya hajatan seremonial, peresmian ini peresmian itu.
Tak ada kemajuan berarti.
Anggota dewan pun tak bergigi.
Asyik dengan kunjungan kesana kemari, tanpa arti.
Ini salah siapa?

Kalau Anda ingin menyalahkan orang yang paling bertanggung jawab atas kegagalan pembangunan di Kota Batam, maka Anda bisa mulai dengan menyalahkan diri sendiri.
Kenapa demikian?
Karena Andalah sendiri yang mengambil keputusan untuk tidak melakukan apa-apa.
Dan untuk tidak menjadi apa-apa.
Ini bukan kesalahan Walikota. Ini salah Anda mengapa tidak jadi Walikota.
Ini bukan kesalahan anggota dewan. Ini salah Anda mengapa tidak jadi anggota dewan.
Ini bukan kesalahan Direktur PLN. Ini salah Anda mengapa tidak jadi Direktur PLN.
Ini bukan kesalahan Direktur ATB. Ini salah Anda mengapa tidak jadi Direktur ATB.
Ini semua karena Anda sendirilah yang memutuskan, mengambil keputusan dengan penuh kesadaran, untuk tidak menjadi siapa-siapa, untuk tidak melakukan apa-apa.

(Gambar dari sini)

Rabu, 02 April 2008

Saatnya bagi Pemimpin Muda

Setelah sekian lama menunggu, calon kepala daerah yang memiliki niat maju tanpa melalui partai, tetapi melalui jalur perseorangan boleh lega. Aturan yang ditunggu-tunggu yaitu hasil revisi kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR kemarin (1/4).
Salah satu substansi yang sebelumnya menjadi bahan perdebatan yaitu komposisi syarat dukungan minimal bagi calon perseorangan akhirnya dapat disetujui yairu dalam rentang 3% sampai 6.5% untuk tingkat provinsi dan kabupaten kota disesuaikan dengan variasi jumlah penduduk.
Substansi lain yang termasuk krusial juga adalah syarat usia minimal calon yang akan maju dalam Pilkada. Kemarin disepakati bahwa seorang calon gubernur minimal berusia 30 tahun dan calon bupati/walikota adalah berusia 25 tahun.
Dua hal di atas tentu cukup melegakan bagi lahirnya suasana baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Itu karena masyarakat jadi bisa memilih calon kepala daerah yang bukan dipilih oleh partai politik. Calon kepala daerah ini tidak perlu lagi memiliki kendaraan politik atau mendapatkan dukungan dari partai, ia tinggal mendapatkan dukungan langsung dari masyarakat sebanyak prosentase yang sudah diatur di atas.
Jadi misalnya penduduk yang memiki hak pilih sebanyak 500.000 jiwa di Kota Batam, maka ia tinggal mendapatkan dukungan sebesar misalnya 4% dari 500.000 atau sebanyak 20.000.
Bagi calon kepala daerah perseorangan yang didukung oleh kelompok masyarakat seperti perkumpulan2 kedaerahan yang banyak terbentuk di Batam seperti IKABSU, IKSB, Wargi Pasundan, Perkit atau organisasi kepemudaan seperti Perpat, LAM atau bahkan Pemuda Muhammadiyah atau HMI atau organisasi pekerja seperti SPSI dan SPMI dan sebagainya, mendapatkan dukungan sebanyak 20.000 tentu tidaklah terlalu sulit. Maka, ini bisa jadi peluang yang menarik.
Mereka yang tidak didukung oleh partai, tetapi didukung oleh masyarakat, bisa maju menjadi calon kepala daerah.
Peluang menarik lainnya adalah usia yang lebih muda untuk bisa menjadi calon kepala daerah. Maka, mereka para pemuda yang sudah dipercaya memimpin organisasi kepemudaan atau organisasi serikat pekerja juga memiliki kesempatan yang besar untuk dicalonkan sebagai kepala daerah.
Tinggal permasalahannya ada pada internal organisasi tersebut bagaimana memilih calon dari mereka.
Apakah kesempatan yang baik bagi tumbuh kembangnya demokrasi yang lebih baik ini bisa dimanfaatkan oleh kita bersama?

(Gambar dari sini)