Kamis, 31 Juli 2008

MEREDAM KEBENCIAN

Benci.
Benci disini bukan kepanjangan dari bener-bener cinta.
Tapi benci sebenar-benarnya arti benci.
Tidak suka. Tidak senang.
Bisa karena dikecewakan.
Bisa karena disakiti.
Bisa karena hal sepele, tersinggung.

Diri kita, rasa benci yang sedang melanda, dan orang lain yang menjadi sasaran kebencian,
bisakah dipisahkan?
Dibiarkan begitu saja rasa benci itu seperti api di udara yang sekejap lenyap, bisakah?
Tak membiarkan orang lain sebagai kayu bakar untuk dihanguskan oleh api kebencian, bisakah?
Bila jawabannya adalah bisa, maka kita telah melangkah setapak menuju ruang batin yang jauh
lebih tenang, yang tak tersentuh oleh api kebencian.

Katanya, kunci membuka ruang hati yang damai dimulai dengan meredam kebencian pada
orang lain, dan bukan meredam kebencian itu sendiri.
Katanya, kekeliruan yang sering tak kita sadari adalah kita ingin membuang rasa benci,
namun kita tetap mengingat-ingat kepada siapa kita membenci.
Katanya, rasa benci tak memiliki daya, sampai kita menemukan obyek untuk dibenci.
Sebagaimana api di udara, takkan membakar sampai ia menemukan kayu untuk dihanguskan.

Redamlah kebencian itu.

MALU BERUSAHA? NO WAY...

Beberapa saat terakhir ini saya memang rajin melihat sekeliling.
Lebih dari itu, seringnya malah melihat ke atas, ke langit biru, ke bintang-bintang yang berkemilau di malam hari.
Bertanya kepada Sang Pencipta, melihat sekeliling untuk mencari jawaban.

Saya ingin ajak anda melihat sekeliling. Mari kita lihat sekeliling.
Mari bertanya tentang rejeki.
Ternyata yang namanya rejeki itu, bisa datang dari mana pun arah asalnya, selama manusia mau berusaha.
Lihatlah seorang bapak mengayuh sepeda keluar masuk gang menjajakan dagangan. Pada akhir hari ia mengantungi beberapa lembar penghasilan untuk penghidupannya esok hari.
Seorang lelaki muda berpanas-panas bekerja sebagai kuli aspal, membuat jalan. Dibiarkannya kulitnya menghitam legam. Itu pun jadi penghidupan bagi diri dan keluarganya.
Bahkan, seorang pemuda mengamen di persimpangan jalan demi sekeping dua keping uang logam, toh tak menyempitkan jalan bagi sesuap dua suap nasinya hari itu.

Dari mereka, saya belajar bahwa apa pun yang kita usahakan, selama keringat menetes, selama upaya terus ditegakkan, maka tak ada keraguan bagi datangnya rejeki pada kita.
Rejeki bisa datang dari arah yang tidak kita sangka.

Tidak bekerja pada orang lain, atau tak ada pekerjaan, berhenti bekerja dari pabrik yang selama ini menjadi sandaran hidup kita, barangkali adalah momok bagi sebagian besar warga Batam yang didominasi pekerja.
Mencoba usaha menjual pulsa elektronik, membuatkan panganan kecil bagi keluarga yang mau syukuran, menerima jahitan baju dari tetangga sebelah, dan banyak contoh lain usaha kecil-kecilan masih tabu dilakukan oleh kita.

Tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.
Saatnya bagi saya untuk tidak lagi memilah-milah orang lain berdasarkan banyak sedikitnya penghasilan yang diperoleh. Karena pada dasarnya bukan itu persoalannya. Bukan pada berapa hasil yang kita kumpulkan, melainkan pada bagaimana upaya kita memperolehnya.
Saatnya bagi saya untuk tidak melupakan pandangan dari satu pelajaran: yaitu, betapa pemurahnya semesta ini bila kita mau berusaha, dan sama sekali tak malu berupaya.

Barang siapa ingin merubah nasibnya, maka ia harus berupaya mengubahnya sendiri.
Percayalah, di balik kesulitan yang kita hadapi, akan selalu ada kemudahan.