Jumat, 06 Maret 2009

BERWIRAUSAHA ITU SEPERTI MASUK TOILET

Lima tahun lalu, saya yang masih asyik bekerja di sebuah perusahaan elektonik Jepang di Mukakuning ditawari untuk bergabung mengelola usaha yang dilakukan seorang teman di bidang kelistrikan. Walaupun berlatarbelakang teknik, saya merasa kurang sreg keluar dari zona kenyamanan sebagai seorang karyawan berpangkat Asisten Manajer itu.

Tahun lalu, teman saya itu kembali melemparkan ide untuk membuat sebuah badan hukum PT dan meminta saya mengelola perusahaan patungan tersebut. Saya yang saat itu baru pindah kerja sebagai seorang Manajer Engineering di sebuah perusahaan elektronik di kawasan Panbil akhirnya mengiyakan tetapi tetap saja merasa kurang sreg untuk berpindah kuadran ini. Saya pikir, saya mau menjalankan usaha apa, lha wong tidak tahu situasi di luar sana. Pertanyaan seperti: apa saya bisa melakukan usaha? Kalau perlu modal besar, uang dari mana? Terus berkecamuk mengganggu tidur saya. Namun saya tetap mempertimbangkannya. Dan setelah dipikir cukup lama, juga diskusi cukup dalam dengan orang rumah, dengan disertai pikiran ragu dan berat hati, akhirnya saya memberanikan diri untuk resign dari perusahaan yang baru 2 bulan saya masuki itu dan saya setuju untuk mengelola perusahaan patungan itu. Tetapi karena masih khawatir dengan penghasilan yang diperoleh dari usaha bersama teman saya itu, pada saat yang bersamaan, saya juga membeli sebuah usaha waralaba di bidang pembuatan souvenir pribadi dengan teknik digital printing yang saya dirikan di salah satu ruko di Panbil.

Memulai usaha sendiri ternyata bukanlah hal yang mudah. Walaupun kantor sudah ada, modal sudah ada, dan orang sudah ada, tetapi kalau order tidak ada, semua yang disebutkan tadi menjadi tak berguna. Tahukah anda bahwa ernyata teman saya menyerahkan semua urusan usaha kepada saya. Mau usaha di bidang apa saja terserah. Tak ada spesialisasi lah. “Pokoknya ada order apa, embat saja”, katanya. Tentu ini membuat saya tambah bingung.

Satu bulan saya mengelola perusahaan itu, tak ada order satu pun, dua bulan ke sana kemari juga belum ada order. Bulan ketiga dan keempat juga sama, nol besar. Lha wong mau menawarkan diri masuk perusahaan masih malu. Yang ditawarkan juga tidak jelas. Kondisi ini terus berjalan hingga bulan ke bulan-bulan selanjutnya. Bersamaan dengan itu, usaha souvenir pribadi saya yang menyediakan produk mug, jam dinding, jam keramik, pin aneka ukuran, gantungan kunci, id-card, mouse pad, dan kaos yang bisa diberi tulisan dan gambar si pemesan pun mulai berjalan. Pendapatannya memuaskan? Tentu tidak! Walaupun sudah mendapatkan order, tetapi hanya baru bisa menutupi biaya operasional, sewa tempat dan gaji karyawan. Repot nih. Di perusahaan saya belum ambil gaji, di kedai souvenir juga belum bisa ambil uang. Wah, bisa gawat! Tidak lama lagi, ibunya anak-anak pasti akan mulai berkicau.

“Kalau mau mulai usaha itu, jangan terlalu banyak dipikir. Pakai otak kanan, lakukan saja, pikir kemudian. Ibarat orang mau masuk toilet, kalau sudah kebelet ya masuk saja ke toilet, tutup pintu, langsung buang air. Permasalahan kemudian ternyata tidak ada handuk atau perlu sabun, kan bisa minta tolong isteri untuk mengambilkan”, demikian yang saya dengar dari Purdi E Chandra, gurunya wirausahawan Indonesia, pada sebuah Seminar Cara Gila Jadi Pengusaha yang diadakan di Batam waktu itu. Mendengar ini, tentu saya tertegun, dan mencoba merenungkan maksudnya.

Dulu, di awal permulaan menjalankan kedai souvenir, kalau ada yang minta di luar produk yang tersedia maka saya akan menolak dan mengatakan tidak ada atau tidak bisa. Sekarang tidak lagi bro! Dengan semangat saya akan bilang ya, ada, saya akan buatkan segera, dan kemudian saya akan berusaha mencari orang yang bisa membuatnya. Kalau di Batam tidak bisa, saya cari di Jakarta. Dengan cara ini, ternyata omset souvenir saya terus bertambah. Saudara-saudara, dari sini saya belajar bagaimana berani optimis dengan bisnis orang lain (BOBOL).

Bagaimana nasib perusahaan kami? Saya akhirnya lebih berani menawarkan jasa apa saja, mulai mekanikal, elektrikal, bahkan sipil juga bisa. Mau rental alat berat oke, minta jasa rekrutmen oke, training ayo, supply spare part juga ada. Apa saja, yang penting halal. Perkara bisa mengerjakan atau tidak, itu urusan belakang. Jalan ke sana kemari, ke Tancung Uncang sampai Batu Ampar bahkan sampai Kabil sudah tak menjadi masalah. Ketemu teman lama, menjadi pekerjaan sehari-hari, dalam rangka menyambung silaturahmi dan mencari rejeki!

Saudara-saudara, tak dinyana, order spare part seharga 200-an juta datang. Separuh lebih modal bukanlah uang saya! Dari sini, saya belajar berani optimis dengan duit orang lain (BODOL). Kemudian dapat pekerjaan pembuatan plang papan nama besar 3x8 meter. Dikerjain sendiri? Ofcourse not! Saya kasih tukang teralis buat mengerjakan. Dari sini saya belajar berani optimis dengan tenaga orang lain (BOTOL). Pekerjaan membuat taman di sebuah komplek perumahan pun sudah di depan mata. Tentu bukan saya yang bekerja menyiapkan tanah subur dan berbagai tanaman itu. Order perawatan 26 ruko, insya allah bisa segera disetujui.

Saudara-saudara, keberanian telah membuat suasana yang berbeda! Saya mendapatkan teman-teman di luar sana yang bisa diajak bekerja bersama, dan bisa dimintai tolong modal dengan sistem bagi hasil. Ada orang yang bisa kerja, tapi tak ada order. Ada orang yang punya uang, tapi tidak tahu bagaimana menggunakannya. Keberanian memakai otak kanan terbukti mendatangkan hasil. Saudara-saudara, itu semua didapat setelah berprinsip bahwa berwirausaha itu ibarat masuk toilet! Berani mencoba?