Kamis, 17 April 2008

Negeri Zaman Edan

Berikut adalah copy paste dari Opini Media Indonesia, Rabu, 16 April 2008 07:27 WIB, ditulis oleh : Benny Susetyo, Pendiri Setara Institut.

ANTREAN minyak tanah di berbagai daerah menunjukkan pemerintah sudah kehilangan cara untuk tidak membuat rakyatnya menderita. Penderitaan demi penderitaan terus disodorkan kepada rakyat.

Para pejabat tentu tidak pernah merasakan antre minyak tanah, saling berebut dan saling sikut. Pemerintah tidak cepat tanggap. Dengan situasi ini, bagaimana menyatakan program konversi minyak tanah sebagai suatu langkah tanggap dan sebuah keberhasilan?

Kita sudah memasuki zaman yang oleh Ronggowarsito disebut sebagai zaman edan. Betapa tidak, di negeri sesubur dan sekaya Indonesia, masyarakatnya berjejer antre minyak dan beras. Busung lapar dan kelaparan tersebar di berbagai wilayah. Atas semua itu, rasa-rasanya pemerintah nyaris tidak bisa berbuat apa-apa.

Operasi bahan-bahan pokok tidak memperoleh hasil maksimal. Yang miskin tetap saja makan nasi aking. Mereka yang antre beras itu sebagian besar juga para petani kita dan mereka yang antre minyak itu adalah rakyat yang memahami bahwa Indonesia adalah negeri kaya raya.

Bagaimana ini semua bisa terjadi? Jawaban klasik yang selalu mengandung kebenaran adalah karena kelalaian pemerintah dalam menegakkan ketahanan bahan dasar pokok. Ketika segala sesuatu diselesaikan atas nama tekanan ekonomi internasional dan subsidi atas bahan-bahan pokok juga dilakukan 'atas nama rakyat', pada akhirnya bisa disaksikan semua kegagalan itu menjadikan rakyat sebagai korban.

Pencabutan subsidi BBM dilakukan, impor beras, konversi minyak tanah, dan lainnya dilakukan demi kesejahteraan rakyat. Logika ini begitu pelik dan susah dipahami rakyat. Faktanya adalah kesulitan demi kesulitan. Betapapun mulia niat pemerintah bila diterapkan dalam situasi yang membuat menderita, kemuliaan itu tak pernah diapresiasi rakyat sebagai langkah sungguh-sungguh kecuali lagi-lagi menjadikan rakyat miskin sebagai korban.

Daulat kita ditekuk. Kita bahkan hampir tidak lagi memiliki kedaulatan untuk menentukan masa depan. Itu merupakan dampak fatal ketika roda ekonomi dikendalikan oleh mereka yang berdiri di balik liberalisme. Demi itu semua, semua produk kebijakan dibuat untuk melindungi kepentingannya.

Ujung-ujungnya adalah mencabut subsidi rakyat miskin. Privatisasi dan swastanisasi sudah merasuki semua sektor kehidupan. Inilah yang membuat bencana bagi rakyat miskin. Air, tanah, dan udara bukan milik semua, melainkan milik orang kaya.

Di sisi lain, ketidakmampuan pemerintah menghapuskan biaya tinggi (hight cost) di berbagai sektor itulah yang membuat kita sulit keluar dari krisis, termasuk kebijakan kenaikan harga BBM pun tidak akan mengubah nasib kaum miskin semakin baik. Kaum miskin hidupnya semakin tersisih dalam daya tawarnya terhadap kekuatan global yang sekarang ini telah merasuki kekuatan politik dan pasar. Kekuatan global ini sekarang telah menguasai hajat hidup kehidupan ekonomi kita.

Derita kemiskinan
Derita kemiskinan akibat kekeliruan kebijakan-kebijakan struktural seperti inilah yang begitu sering terjadi. Bukannya mempersoalkan bagaimana memberikan langkah yang akurat untuk mengatasi kemiskinan secara tepat, terukur, dan membawa hasil yang jelas, melainkan rakyat miskin sendiri sering 'disiksa'.

Sudah semenjak dulu, kemiskinan hanya dijadikan alat atau isu belaka.
Tidak pernah dicarikan jalan keluar secara serius untuk mengatasi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan menjadi isu yang terbaik untuk mencari dukungan rakyat miskin. Sungguh ironis karena tanpa elite menyadarinya, mereka terlalu sering memanfaatkan rakyat miskin untuk kepentingan diri sendiri.

Sumber dari segala sumber bencana negeri ini sangat mungkin terjadi karena selama ini kebijakan tidak diarahkan atau berpihak pada penguatan masyarakat kecil. Kebijakan ekonomi terlalu mendongak ke atas dan tak jarang menjadikan rakyat kecil sebagai 'batu injakan' saja. Alih-alih memperkuat ekonomi rakyat dan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh nasib rakyat dari derita kemiskinan dan pengangguran, justru yang terjadi kesejahteraan rakyat kecil diabaikan.

Ketidakmampuan elite untuk menjaga ketersediaan bahan pokok memberikan perlindungan dan kesejahteraan dasar kepada rakyat sering ditutup-tutupi dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal. Fakta bahwa rakyat kekurangan bahan dasar berkehidupan tidak pernah diselami sebagai permasalahan akut bahkan darurat. Dalam hal ini, jelas penguasa tidak pernah mau menyadari kesalahan dirinya sendiri.

Berbagai problem kebutuhan sehari-hari datang silih berganti. Belum selesai satu masalah, muncul masalah lainnya. Kelangkaan minyak tanah, kedelai, minyak goreng, sampai gabah dan beras bukanlah masalah kelangkaan biasa. Di dalamnya sarat makna tentang kegagalan negara mengatur lalu lintas penyediaan kebutuhan dasar rakyat. Di negeri yang subur ini, rakyatnya kekurangan beras dan bahkan ada yang makan nasi aking. Sampai kapan rakyat harus antre bahan-bahan pokok?

Tidak ada komentar: